--> Skip to main content
×

Sentot Ali Basya Bersama Pasukan Bersorban

Dalam buku-buku pelajaran sejarah saat kita sekolah dahulu, Nama Sentot Ali Basya Prawirodirjo kita kenal sebagai orang kepercayaan Pangeran Abdul Hamid Diponegoro dalam Perang Jawa.
Jika Kyai Mojo orang kepercayan Pangeran Diponegoro di bidang agama, maka Sentot Ali Basya diberikan kepercayaan di bidang militer.
Dalam usia sangat muda, dibawah 20 tahun, Pangeran Diponegoro telah memberikan kepercayaan kepadanya dalam memimpin perperangan diberi gelar Senopati.
Sentot adalah pahlawan dan juga anak pahwalan.
Ayahnya–Raden Ronggo Prawirodirjo–adalah Bupati Madiun yang terkenal karena tidak mau tunduk kepada Gubernur Jenderal Deandels.
Sentot dididik dengan dua didikan yang terpadu menjadi satu yaitu didikan iman dan islam yang kuat dipadukan dengan didikan kepahlawanan Jawa sejak zaman purbakala.
Sehingga menghasilkan sosok Sentot Ali Basya yang ksatria sekaligus religius.
Basya adalah gelar pimpinan perang tentara Kerajaan Turki Ustmani yang diadopsi oleh Pangeran Diponegoro yang disematkan kepada Sentot Ali ‘Basya’ Prawirodirjo.
Kekuatan tidak berimbang antara Pangeran Diponegoro menghadapi Kekuatan Belanda membuat banyak korban dipihak Diponegoro berjatuhan, kekuatan semakin lemah.
Terhitung sejak 1828 Pangeran Diponegoro lebih banyak bertahan dan menghindar dari kejaran Belanda.
Belanda berhasrat untuk segera menyelesaikan Perang Jawa, agar bisa memusatkan kekuatan untuk Perang Paderi di Sumatera.
Berbagai cara dan siasat buruk ditempuh bahkan menawari panglima-panglima perang Pangeran Diponegoro untuk berkhianat dengan imbalan harta dan kekuasaan.
Saat kekuatan Pangeran Diponegoro semakin lemah, Belanda mengumumkan bahwa siapa saja yang menyerah akan diperlakukan dengan hormat dan pasukan mereka tidak akan dipecah-belah.
Bahkan akan diberikan kedudukan yang layak dibawah naungan Pemerintah Belanda.
Mendengar seruan Belanda, Sentot yang sudah tercerai berai dari pasukannya dan terpisah jauh dari Pangeran Diponegoro bermusyawarah dengan beberapa orang prajuritnya yang tersisa.
Mengingat pasukan sudah tercerai-berai, kekuatan sudah sangat lemah, kekalahan hanya menunggu waktu dan dari tempat yang berbeda Kyai Mojo juga sudah tertangkap sebelumnya, maka Sentot merasa tak ada guna perang dilanjutkan, hanya menyebabkan kebinasaan lebih besar.
Ia tinggalkanlah Junjungannya Pangeran Diponegoro.
Beliau pun menyerahkan diri.
Pada 24 Oktober 1929 Jenderal De Kock menyambut penyerahannya dengan kehormatan militer tertinggi.
Diakui kedudukannya sebagai Panglima Perang, tidak diusik gelar Basya dan Senopati yang telah dimilikinya.
Diberikan ia gaji yang besar, diperlakukan seperti Pangeran-Pangeran Jawa yang berdaulat seperti Mangkunegoro di Surakarta dan Paku Alam di Jogjakarta.

Akan tetapi ia tidak diberi daerah kekuasaan.
Pasukannya sebanyak 1.800 orang prajurit terlatih diberi makanan yang cukup dan pakaian lengkap oleh pemerintah Belanda. Daerah kekuasaan yang dijanjikan tidak juga menjadi kenyataan.
Sentot takut jika semangat juang pasukannya akan kendor.
Para prajurit itu adalah para santri yang kuat beribadah, bersurban dan jubah putih.
Di Minangkabau Perang Paderi berkecamuk.
Saat itulah Belanda menyampaikan kepada sentot bahwa baginya terbuka medan perjuangan.
Diceritakan kepada beliau bahwa di Minangkabau ada segolongan kaum yang mengaku dirinya Islam sejati, padahal mereka penganut paham yang sesat dan merusak Islam.
Itulah kaum Paderi.
Belanda sedang memerangi kaum itu, untuk membela umat Islam yang cinta damai dibawah pemerintahan Kesultanan Pagaruyung.
Jika Sentot bersedia membantu pemberontakan kaum Paderi itu, maka kelak akan diberikan daerah yang luas untuk diperintahnya.
Tanah wilayah yang akan dirajainya itu ialah XIII Koto.
Semangat jihad Sentot bergelora, ia menerima tawaran itu, agar berjihad memerangi kaum ‘sesat’ yang hendak merusak Islam.
Sentot Ali Basya
Sebelum Sentot dan prajuritnya berangkat, Gubernur Jenderal menyurati Residen Militer di Padang, supaya sangat dijaga jangan sampai ada hubungan antara Kaum Paderi dengan Sentot dan Prajuritnya.
Agar tidak terbongkar rekayasa adu domba.
Sentot dan pasukannya bertolak dari Jawa menuju Minangkabau pada 1832.
Masuk dari Air Bangis, hingga pedalaman Matur, Lima Puluh Kota.
Akan tetapi usaha Belanda menjauhkan Sentot dan pasukannyadengan kaum Paderi gagal.
Sebab mereka harus berperang dengan kaum Paderi.
Alangkah terkejutnya beliau, saat mendengar Azan berkumandang di medan perang yang tengah berkecamuk, bahkan lebih lantang dari suara tentaranya sendiri.
Begitu pula pasukan Paderi, sama-sama terkejut.
Rupanya dalam tentara Jawa yang dikirim Belanda untuk menghadapi Kaum Paderi juga ada prajurit-prajurit bersurban, yang melaksanakan Sholat Khauf di medan perang.
Seperti halnya yang mereka lakukan.
Rupanya pakaian sama, kepercayaan dan cita-cita pun sama.
Sentot yang masih muda baru 27 tahun terharu tak dapat menahan air mata. Teringat Pangeran Diponegoro yang telah ia tinggalkan, saat ini sang Junjungan telah tertangkap dan diasingkan.
Muncul perang bathin yang amat hebat akibat kesalahan dan kekeliruan selama ini.
Timbul hasrat menebus kesalahan.
Dan dalam waktu yang bersamaan kalangan kaum adat Minankabau, tumbuh pula kesadaran.
Kaum Paderi pun demkian.
Mereka menyadari kekeliruan masing-masing telah dimamfaatkan oleh Belanda untuk mengadu-domba antara kaum adat (Kesultanan Minangkabau) dengan kaum Agama (Paderi) agar bisa menguasai alam Minangkabau.


Bertemulah cita-cita Sentot-Kaum Paderi-Kaum Adat (Kerajaan Minangkabau) dirapatkan barisan, sehingga khabarnyo Tuangku Imam Bonjol pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sentot.
Bertemu kata sepakat untuk berdamai, bahkan Sentot oleh Sultan Alam Minangkabau Muning Syah diberi gelar kehormatan Yang Dipertuan Basa.
Sebab ia seorang yang alim.
Bertemulah kata mufakat bahwa mereka akan memerangi Belanda secara bersama-sama.
Moncong senjata dan ujung pedang serta tombak akan dirahkan kepada Belanda.
Akan tetapi, mata-mata Belanda mengetahui rencana ini.
Belanda lekas mengambil sikap untuk menjebak Sultan Alam Muning Syah dengan mengundangnya ke Padang, lalu ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Sedangkan Sentot dan pasukannya dipulangkan kembali ke Jawa.
Tak beberapa lama kemudian Sentot Ali Basya Prawiradirja diasingkan ke Bengkulu dan disanalah Pahlawan itu menutup ajal. Tidak jauh dari kuburnya ada sebuah bukit yang bernama Tapak Paderi.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar